Nilna Sofiana_Papua Selatan
Setiap manusia memahami bahwa hidup ini memiliki batas, dan kematian adalah bagian dari takdir. Namun, di antara semua kehilangan yang mungkin terjadi, tidak ada yang lebih berat bagi seorang anak selain kehilangan seorang ibu. Kehadirannya adalah sumber kasih sayang, kehangatan, dan doa yang tulus. Meski demikian, banyak dari kita yang sering merasa bahwa ibu akan selalu ada, hingga lupa bahwa waktu bersama beliau sesungguhnya terbatas.
Ibu adalah rumah pertama kita. Sejak dalam kandungan, kita hidup di bawah perlindungannya, merasakan detak jantungnya sebagai irama pertama yang menenangkan. Beliau menanggung rasa sakit luar biasa demi memastikan kita lahir dengan selamat. Pengorbanan itu tidak berhenti di hari kelahiran; justru, itulah awal dari perjalanan panjang pengabdian seorang ibu. Seiring pertumbuhan kita, ibu selalu menjadi pendamping setia. Saat sakit, beliau rela begadang semalaman untuk menjaga. Saat kita gagal, pelukannya menjadi obat penenang yang tak tergantikan. Dan ketika kita meraih keberhasilan, beliau menjadi orang yang paling bahagia, meski sering kali hanya merayakannya dalam diam. Namun, ketika kita beranjak dewasa, kesibukan mulai mengisi hari-hari. Pekerjaan, pendidikan, dan urusan pribadi sering kali membuat kita jarang memberi kabar. Telepon dari ibu kadang dijawab singkat, pesan dibalas sekenanya, dan ajakan pulang ditunda dengan alasan “sibuk”. Kita merasa masih memiliki banyak waktu untuk bersama, hingga lupa bahwa tak ada yang bisa menjamin hari esok.
Full version download PDF