Wiwit Indriani_Papua
"Kami bukan pemilik tanah ini, hanya penjaga yang dititipi leluhur. Tapi sekarang, kami seperti tak berdaya melihat surga kami dicabik-cabik."
— Markus Wambrauw, Tetua Adat Desa Sawinggrai
Raja Ampat, surga biodiversitas yang mendunia, sedang menghadapi krisis ekologis paling serius dalam sejarahnya. Di balik pesona lautnya yang memesona, hutan-hutan primer di kepulauan ini terus menyusut dengan laju yang mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, Raja Ampat telah kehilangan 15% tutupan hutannya akibat aktivitas ilegal dan eksploitasi berkedok investasi.
Masyarakat adat Raja Ampat yang selama berabad-abad hidup harmonis dengan alam kini harus berhadapan dengan ancaman baru. Setiap minggu, suara gergaji mesin menggema di hutan-hutan yang seharusnya dilindungi. Pohon matoa dan merbau berusia ratusan tahun, yang dianggap keramat oleh warga setempat, dirubuhkan untuk dijadikan bahan baku mewah. Sistem sasi, tradisi larangan adat untuk melindungi sumber daya alam, tak lagi dihargai. "Dulu, kami punya sasi laut dan sasi hutan. Ada waktu untuk mengambil, ada waktu untuk menjaga. Sekarang, orang luar datang seenaknya, mengambil apa saja tanpa peduli aturan adat," tutur Mama Yosina, perempuan adat dari Desa Arborek.
Dampaknya sudah mulai terlihat jelas. Spesies endemik seperti cendrawasih merah dan kuskus bermata biru semakin sulit ditemui. Sumber mata air yang dulunya jernih kini keruh akibat sedimentasi dari lahan-lahan yang digunduli. Yang lebih memprihatinkan, generasi muda Raja Ampat mulai kehilangan ikatan dengan tradisi leluhur mereka karena tergoda oleh janji pekerjaan dari perusahaan-perusahaan yang justru merusak lingkungan.
Full version download PDF